Tangkolo Moment

Tangkolo Kampung Istimewa Tangkolo sebuah desa yang terletak di kecamatan Subang kabupaten Kuningan Jawa Barat sama seperti daerah lainnya di Indonesia setiap tanggal 17 Agustus merayakan hari Kemerdekaan Indonesia.

Diawali dengan upacara bendera di lapangan terbuka tepatnya di stadion Tunas Adiwikarta desa Tangkolo, yang di mulai pada pukul 09:00 sampai dengan selesai. Namun ada yang istimewa dari desa Tangkolo ini,
dimana sebelum upacara bendera dimulai, Setiap masyarakat akan berkumpul pada setiap Rukun Tetangganya masing-masing. Ini dimaksudkan agar semua masyarakat desa Tangkolo sebelum memasuki
lapangan tempat upacara bendera nanti bisa berbaris ( iring-iringan ) dengan rapi untuk memasuki lapangan tempat upacara. Yang bertugas mengatur barisan ini adalah ketua dari masing-masing Rukun Tetangga, serta panitia yang ditunjuk oleh pemerintahan desa Tangkolo agar kegiatan 17 Agustusan bisa berjalan dengan lancar.
Setelah para peserta upacara ( dalam hal ini seluruh masyarakat desa Tangkolo ) memasuki lapangan upacara, dimulai dari barisan paling depan yang diurutkan berdasarkan Rukun Tetangga paling awal. Satu persatu memasuki lapangan upacara dan saat itulah ada hal yang istimewa. 

Hal yang istimewa tersebut adalah setiap masing-masing RT diwajibkan untuk menampilkan pertunjukan yang disebut masyarakat Tangkolo sebagai Memeron. Dalam memeron terseut, yang di pertunjukan adalah hal-hal mengenai sejarah yang berbentuk cerita/drama, kreasi , menunjukan hasil bumi, dan lain lain. Seperti gambar diatas, salah satu RT menampilkan seni pertunjukan bela diri pencak silat, yang dipertontonkan kepada seluruh masyarakat unutk mengingatkan/ menjaga dan melestarikan kebudayaan yang saat ini sudah sedikit peminatnya. 

Ada juga yang hanya mempertontonkan macam-macam alat yang bisa dijadikan sebagai instrument music, dan dikemas dengan dandanan dari setiap peserta yang kreatif. Antusiasme dan dukungan penuh dari masyarakat desa Tangkolo begitu besar dalam setiap kegiatan, hal ini menunjukan bahwa desa Tangkolo masyarakatnya mempunyai rasa cinta tanah air yang tinggi serta rasa persaudaraan yang kuat. Bahkan acara kemeriahan pun tidak hanya itu saja, setelah selesai upacara bendera, ada yang namanya pameran. Pameran yang berlokasi di jalan raya / lapangan ini adalah salah satu bentuk kepedulian sosial masyarakat desa Tangkolo. Dimana setiap manusia tidak bisa terlepas dari kehidupan orang lain, artinya ada keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat tahu benar bahwa dengan adanya pameran tersebut, walupun pekerjaanya sebagai petani mereka bisa membeli kue dari masyarakat yang lain yang pekerjaannya sebagai pembuat kue.

 Begitupun Petani tersebut, mereka bisa memasarkan hasil pertaniannya kepada orang yang bukan petani. Jadi maksudnya bukan hanya soal tradisi, tapi dengan adanya pameran tersebut seluruh Masyarakat desa Tangkolo bisa saling bertemu, bisa saling berbagi dann bisa saling berkreatifitas. Tangkolo memang mempunyai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan, mengangkat norma-norma kemanusiaan serta nilai dari kehidupan. Dan sekarang selaku Putera Tangkolo merasa bangga telah dilahirkan di tanah Tangkolo, walaupun keberadaan sudah jauh dari Tangkolo, tapi rasa cinta tanah air tetap ada.

Wahyu M Nugraha

Tidak ada batasan bagi setiap orang untuk hidup sukses, setiap pribadi mempunyai hak untuk itu dan harus senantiasa untuk maju dan memajukan.

Wahyu muhammad nugraha atau biasa di panggil dengan sebutan Mang Ayung, Putra Tangkolo yang kini berdomisili di wilayah kota Serang Banten. 
Perjalanan hidup mengisahkan keberadaannya sekarang di sebuah Departemen Pemerintahan. Memang ada harga bagi setiap kesuksesan, dan untuk meraih itu kadang kala kita harus siap dalam menerima dan bisa dalam menjalankan kehidupan ini.
Sekolah Menengah Atas Negeri Satu Kuningan menjadi awal perjalanan meraih cita-cita, karena pada saat itu ada perasaan dan sebuah keinginan dimana kehidupan bisa menjadi lebih baik.


Pengalaman dan perjalanan hidup telah menjadi pelajaran buat kita untuk bisa meraih apa yang terbaik, memaksimalkan potensi dan memberikan kebanggaan kepada orang-orang yang dicintai.




Kini beliau sekarang berada di wilayah dimana kesejahteraan yang menjadikan kesuksesan diraih. 
Hidup ini tentang perjalanan, yang harus dilewati dengan pemikiran maju, serta do'a yang terbaik. 

Contact ; Facebook on Wahyu Zarotonk Nugraha
Email     : zona_zarotonk@yahoo.co.id
               wahyumnugraha@yahoo.co.id

Taja Sukmajaya

Sebagaimana kebiasaan orang-orang Tangkolo, Setelah Lulus sekolah biasanya menjadi perantau di kota. Begitupun dengan Tokoh inspirasi Tangkolo yang satu ini, Setelah tamat dari SMA 2 Kuningan waktu itu, beliau mencari kehidupan di ibu kota, berharap kehidupan bisa lebih maju.
Singkat cerita setelah menemukan batu loncatan yakni dengan menjadi pekerja, beliau mencoba mengikuti ujian seleksi Sekolah Tinggi Akuntansi di daerah Bintaro Jakarta. Alhasil pada waktu itu beliau berhasil menembus ujian tersebut dan berhak untuk mengikuti pendidikan kedinasan selama masa yang di tentukan.


Foto semasa menjadi mahasiswa diklat Depkeu

Dengan semangat yang tertanam, serta memiliki keinginan yang kuat untuk terus tumbuh belajar dan bisa meraih apa yang dituju, maka beliau pun berhasil berada dalam satu kawasan yang berada dibawah naungan Direktorat Jenderal Pajak. Tentu tidak gampang untuk masuk ke dalam lingkungan tersebut, harus diperlukan kondisi pribadi yang benar-benar siap untuk bisa masuk ke dalam wilayah tersebut.

Keberhasilan adalah akibat. Anda harus menjadi sebab bagi yang Anda cita-citakan. Memang tidak mudah, tapi sangat mungkin.


Dengan Keuletan beliau di masa remaja, kini apapun yang diraihnya adalah sebagai hasil yang membuat bangga.

Contact : On Facebook Taja Sukmajaya
E- mail  : cacah.kuricak@gmail.com

Nanang Abdurrahman

Nanang Abdurrahman seorang putera Tangkolo yang berkiprah sebagai seorang pengajar pada awalnya kini tampil dengan pemikiran yang terkadang orang menganggapnya sepele, dengan kejeniusan dan keberaniannya ia berhasil membuat usaha di bidang penjualan komputer beserta membuka sejumlah lembaga pelatihan keterampilan yang berbasic pada kewirausahaan.


Sang Motivator yang menginspirasi beserta keluarga











Para pemenang adalah pengambil resiko.

Seperti kita semua, mereka juga khawatir salah dan takut gagal.

Tapi, mereka tidak membiarkan kekhawatiran dan rasa takut menguasai mereka dan membatalkan yang bisa segera mereka laksanakan.

Mereka juga akan mengalami kesalahan dan kegagalan, tapi karena lebih banyak melaksanakan, mereka lebih sering berhasil.

Dan semoga begitu jugalah dengan Anda. 


 Dengan bisnis yang sudah beliau jalankan, sekarang membuat suatu terobosan yang akan menghebohkan negeri ini, yakni beliau mencoba menyatukan sistem kepemilikan ( Franchise dan MLM ).

Yakin kepada Allah bahwa apa yang kita upayakan akan berhasil. Tanpa keyakinan, sehebat apapun Usaha Anda pasti akan sia-sia. Keyakinan memberikan ruh bagi setiap usaha yang kita lakukan, sehingga usaha tersebut akan tumbuh, hidup dan berkembang. Apapun rintangan yang ada didepan Anda pasti bisa dilalui. Terlepas cepat atau lambat, tergantung kesungguhan untuk mewujudkan upaya Anda. Tingkatkan terus keyakinan Anda hingga level 100, sehingga hasil yang Anda dapat bisa mencapai level 100

Contact Via Facebook
Residence :
RT 13 RW 03 No. 29  Kamp. Pahing  Desa Purwasari
Kec. Garawangi Kab. Kuningan 45571
Phone Cell : 081-395-664-205
Email : nanang@pustikom.com
Office:
CV. PUSTIKOM
Sahira Trade Center Lt. 2 No. 3
Jalan Siliwangi No. 98 Samping BCA Kuningan
Telp./Fax. : (0232) 8882868

Tangkolo sebagai Dominasi Pelunas PBB Tercepat

Kecamatan Pinggirran yang nota bene jauh dari pusat Pemerintahan Kabupaten Kuningan ternyata tidak merasa terpinggirkan dalam hal pelunasan PBB, Kecamatan yang berada di sebelah selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ciamis dan Cilacap Jawa Tengah itu menjadi yang tercepat dalam pelunasan PBB tingkat Kecamatan yang ada di Kabupaten Kuningan. Menurut Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan, Drs. A. Taufiq Rohman, M.Si yang baru dilantik sekitar seminggu yang lalu mengatakan, Realisasi penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan berdasarkan target pokok sampai dengan tanggal 30 November 2010, dari target sebesar Rp. 11,69 Milyar dapat terrealisasi sebesar Rp.
11,43 Milyar atau mencapai 97,79%. Sedangkan realisasi penerimaan berdasarkan target SKB yang tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-15/PJ/2010 sebesar Rp 11,39 Milyar dan dapat terealisasi sebesar Rp. 11,43 Milyar atau mencapai 100,33%. Target SKB baru dapat terealisasi pada tanggal 25 November 2010, keterlambatan pelunasan target dimaksud diantaranya disebabkan oleh selisih antara target SKB yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan target pokok atau potensi pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Kuningan hanya sebesar Rp. 295,6 juta yang tergolong dalam sektor perkotaan. Kategori target untuk Kecamatan dan Desa/Kelurahan Tingkat Kabupaten dan Desa/Kelurahan Tingkat Kecamatan masing-masing dibagi dalam 6 kategori. Berdasarkan kategori tersebut didapat Kecamatan, Desa/Kelurahan terbaik. Kategori target sampai dengan Rp. 200 juta Kecamatan Cilebak, Kecamatan Selajambe, Kecamatan Cibeureum. Kategori target lebih dari 200 juta s/d 250 juta Kecamatan Subang, Kecamatan Japara, Kecamatan Pancalang. Kategori target lebih dari 250 juta s/d 300 juta Kecamatan Sindang agung, Kecamatan Cimahi, Kecamatan Mandirancan. Kategori target lebih dari 300 juta s/d 400 juta Kecamatan Garawangi, Kecamatan Lebakwangi, Kecamatan Maleber. Kategori target lebih dari 400 juta s/d 500 juta Kecamatan Luragung, Kecamatan Ciganda Mekar, Kecamatan Kramatmulya. Kategori Target diatas Rp. 500 juta Kecamatan Cilimus, Kecamatan Ciawi Gebang, Kecamatan Jalaksana. Sedangkan untuk kategori Desa/Kelurahan Kategori target s/d Rp. 13 juta Desa Kawung sari Kec. Cibeureum, Desa Bunder Kec. Cidahu, Desa Randu Sari Kec. Cibeureum, Desa Sukajaya Kec. Cimahi. Kategori target s/d Rp. 18,5 juta Desa Dukuh Lor Kec. Sindang Agung, Desa Jagara Kec. Darma, Desa Tirtawangunan Kec. Ciawi gebang, Desa Kadurama Kec. Ciawi gebang. Kategori lebih dari Rp. 24 juta Desa Walahar Cageur Kec. Luragung, Desa Tugumulya Kec. Darma, Desa Mandapa Jaya Kec. Cilebak, Desa Balong Kec. Sindang Agung. Kategori target diatas Rp. 30 juta Desa Dukuh Picung Kec. Luragung, Desa Taraju Kec. Sindang Agung, Desa Sindang Kec. Lebakwangi, Desa Panyosogan Kec. Luragung. Kategori target s/d Rp. 40 juta Desa Kutawaringin Kec. Selajambe, Desa Cantilan Kec. Selajambe, Desa Tangkolo Kec. Subang, Desa Randobawa Ilir Kec. Mandirancan. Kategori diatas Rp. 40 Juta Desa Margamukti Kec. Cimahi, Desa Bojong Kec. Cilimus, Desa Ciwaru Kec. Ciwaru, Desa Linggasana Kec. Cilimus. Sedangkan untuk pengelolaan Administrasi PBB tingkat Kelurahan tahun 2010 diraih oleh Kelurahan Windusengkahan. Sementara itu Bupati Kuningan dalam sambutannya mengatakan, sudah sepantasnya saya memberikan apresiasi dan pengahargaan yang setinggi-tingginya khususnya kepada para Kepala Desa/Kelurahan beserta perangkatnya yang telah membantu pelaksanaan pemungutan PBB dan pada umumnya kepada seluruh wajib pajak yang telah memiliki kepatuhan dan rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memenuhi kewajiban membayar PBB lebih awal sebelum tiba masa jatuh tempo, sehingga Kabupaten Kuningan dapat lunas PBB tahun 2010 berdasarkan target SKB yang ditetapkan olehn Mentri Keuangan melalui surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2009. Selain itu Bupati juga mengatakan, pemberian penghargaan ini adalah untuk memotivasi agar kedepan para pemungut pajak baik dari Kecamatan, Desa/Kelurahan dapat bekerja lebih baik lagi, tidak hanya dalam pemungutan PBB saja, namun dapat dikembangkan dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pemerintahan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat dengan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat umum. Pinta Aang. ( Sumber : Bagian Humas Setda Kabupaten Kuningan ).

SDN Tangkolo 1 sebagai Juara 1

Grand Final Lomba Inovasi Pembelajaran Alat Peraga (LIPAP) I yang berlangsung di aula SMPN 1 Kuningan secara resmi ditutup oleh Wakil Bupati Kuningan Drs. H. Momon Rochmana, MM pada hari Sabtu (12/6). Dalam final LIPAP I yang diselenggarakan oleh PGRI Kabupaten Kuningan tersebut keluar sebagai jaura umum Ahmad Abung Suud, S.Pd guru SMAN 1 Ciniru dengan judul materi lombanya adalah “Pembuatan Media Pembelajaran Rolling Game Ball Pada Materi Momentum” untuk mata pelajaran Fisika.



Untuk grand finalnya sendiri diikuti oleh 9 peserta yang dibagi kedalam 3 kategori yaitu kategori SD dimana diikuti oleh 3 peserta yaitu Tarim, S.Pd mewakili SDN Tangkolo Subang sebagai juara 1, Imas Sumiarsih, S.Pd mewikili SDN 1 Ciawigebang sebagai juara 2, Kustara, S.Pd mewakili SDN Cisaat Cibingbin sebagai juara 3 . Untuk kategori SMP diwakili oleh 3 peserta yaitu yaitu Subhan Jamal mewakili SMPN 1 Cilimus sebagi juara 1, Ida Farida Nurani, S. Si mewakili SMPN 1 Cigandamekar sebagai juara 2, Fiet Haryadi, S. Pd mewakili SMPN 1 Cibingbin sebagai juara 3 sedangkan untuk kategori SMA diwakili oleh 3 peserta yaitu Ahmad Abung Suud, S.Pd mewakili SMAN 1 Ciniru sebagai juara 1 sekaligus juara umum , Kusmana, M.Pd mewakili SMAN 2 Kuningan sebagai juara 2, Irna Juanti, S.Pd mewakili SMAN 1 Kuningan sebagai juara 3. Maman Suherman, M.Pd selaku ketua panitia dan ketua PGRI dalam laporannya mengungkapkan bahwa Lomba Inovasi Pembelajaran Alat Peraga (LIPAP) I yang digelar tersebut merupakan rangkaian acara yang digelar oleh PGRI dalam rangka memperingati hari Pendidikan Nasional. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengajak para guru di Kabupaten Kuningan untuk menjadi profesional sehingga mampu menghasilkan suatu pembelajaran yang baik bagi anak didiknya.

Wakil Bupati Kuningan Drs. H. Momon Rochmana, MM dalam sambutannya mengucapkan rasa terima kasihnya pada PGRI yang telah ikut memikirkan dan berusaha untuk meningkatkan kualitas para guru yang ada di Kuningan dan berharap agar kegiatan tersebut kedepan untuk tetap terus dilanjutkan. Selain itu juga H. Momon Rochmana berpesan pada para guru agar bukan hanya bisa mengajar mata pelajaran saja tetapi harus punya tanggung jawab moral untuk mendidik anak didiknya bukan hanya pintar dalam ilmu pengetahuan tetapi dalam segi moral. “Guru sekarang dituntut harus kreatif dan pintar berinovasi dalam mentrasfer ilmunya kepada anak didik, Inovasi yang dipunyai oleh para guru merupakan salah satu upaya untuk mengatasi segala keterbatasan yang ada. Saya ucapkan selamat kepada para juara dan peserta lomba yang telah berupaya dengan sabaik mungkin, teruslah berinovasi dan teruslah berfikir kreatif untuk memajukan dunia pendidikan di Kabupaten Kuningan,” ujarnya.
( Sumber : Bagian Humas Setda Kabupaten Kuningan ).

Tangkolo Mempunyai Jembatan Megah


Tangkolo sebuah desa yang berada di kawasan Subang sebagi kacamatannya dan Kuningan sebagai kabupatennya.
Tangkolo mempunyai letak geografis yang cukup unik, dikelilingi oleh gunung dan di tengah-tengahnya desa Tangkolo mengalir sungai Cijolang

Dengan adanya sungai Cijolang sebagai pemisah antara kecamatan Subang Kuningan Jawa Barat dan kecamatan Rancah Ciamis Jawa barat, maka diperlukanlah infrastruktur jalan terutama jembatan yang akan menghubungkan antara kedua wilayah tersebut.
Kepedulian dan perhatian Pemerintah Kuningan untuk membangun kotanya tidak hanya berpusat di kota saja melainkan hinggga perbatasan, terbukti diantaranya telah dibangunnya jembatan megah yang bertempat di Desa Tangkolo Kecamatan Subang yang berbatasan dengan Desa Patakaharja, Rancah Kecamatan Ciamis. Tak hentinya terus selalu mendapatkan pembenahan dari H. Aang Suganda (Bupati Kuningan).

Jembatan Cijolang Desa Tangkolo memiliki panjang 80 meter dan lebar 7 meter, kondisinya tidak memungkinkan karena sudah rusak. 
 Siapapun yang lewat, termasuk warga desa Tangkolo yang tiap hari melewatinya pasti merasa was-was dan khwatir. Karena jembatan itu kondisinya benar-benar siap rubuh. Sedangkan jembatan Cijolang tersebut, adalah jembatan satu-satunya penghubung Desa Tangkolo dengan Kuningan atau Kecamatan Ciamis. Dengan kondisi tersebut, warga tangkolo merasa terisolasir.
Kondisi Jalan Sebelum Diperbaiki
Untuk membangun jembatan tersebut, secara bertahap Bupati Kuningan dengan bantuan Dinas PU Bina Marga melakukan pembedahan terhadap masalah besar warga Desa Tangkolo. Dimulai tahun 2006, Bupati Aang mulai melakukan langkah untuk membangunya, dengan anggaraan awal sebesar Rp. 2,7 miliar yang digulirkan setiap tahun hingga tahun 2009. Jembatan Cijolang Tangkolo mulai dibagun kembali dimana bangunan yang sebelumnya ditinggalkan, bangunan yang sekarang lebih kokoh sehingga jembatan ini tampak megah.
Sekarang warga Desa Tangkolo mengharapkan impiannya dengan adanya pembangunan jembatan itu, terlebih lagi bukan semabarang jembatan, bahkan merupakan jembatan termegah di Kabupaten Kuningan. Bupati Aang menerangkan kaitannya dengan anggaran, jumlah total anggaran pada pembangunan jembatan Rp. 2,7 miliar. Belum termasuk kerangka besinya, Karena kerangka besi yang ada pada jembatan Cijolang Tangkolo ini berasal dari bantuan pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum (PU). Tidak hanya pada jembatan Cijolang pemerintah juga merencanakan hotmik jalan perbatasan Desa Tangkolo sejauh 2 kilometer tahun 2009 ini. “Insya Allah semuanya akan diresmikan akhir tahun ini,” katanya. Bupati Aang berharap, pembangunan ini dapat meningkatkan ekonomi masrakatnya untuk lebih baik, apalagi masyarakat desa Tangkolo sendiri memiliki hasil bumi yang melimpah terutama pertanian dan hutan yang potensial, sekaligus memberikan motivasi warga untuk meningkatkan pendidikan.
.....................................................................................................................................................................

Asal Mula Calung

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.

Calung Rantay

Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.

Calung Jingjing

Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.

Perkembangan

Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.

Sumber Rujukan

  • Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
  • wikipedia.org

Sejarah Kota Cianjur

Cikal bakal Cianjur berasal dari perpindahan rakyat dari Sagaraherang Subang.
 Daerah ini pernah dijadikan sebagai pusat kekuasaan dan pusat penyebaran Islam yang dipimpin oleh Aria Wangsagoparana. Ia mempunyai 8 orang anak dengan anak tertuanya bernama Jayasasana yang meneruskan ayahnya sebagai penguasa Cianjur.
Jayasasana bergelar Aria Wiratanu yang pada tahun 1655 menempati daerah baru yang terletak antara Sungai Cisadane dan Citarum yang mana daerah ini diklaim baik oleh Belanda sebagai daerahnya maupun Mataram sebagai wilayah kekuasaannya. Ketika raja Mataram beralih ke Amangkurat, Belanda banyak membantu
Mataram, sehingga Matam pun menyerahkan daerah kekuasaan Wiratanu kepada Belanda, maka di tahun 1677 daerah ini telah merdeka secara de facto, Cianjur pun menjadi sebuah negeri, dan Jayasasana pun menjalankan pemerintahannya di Cikundul sehingga ia dikenal dengan nama Embah Dalem Cikundul. Setelah Wiratanu meninggal, ia digantikan oleh Aria Wiramanggala yang dikenal dengan sebutan Dalem Tarikolot dan mengambil pusat kekuasaannya di Cikalong. Dari Cikalong selanjutnya pindah ke Pamoyanan Cianjur. Setelah kekuasaan Wiratanu diganti oleh Astramanggala (Wiratanu III), ia memindahkan ibukota Cianjur dari Pamoyanan ke Kampung Cianjur.

Sejarah Kota Tasikmalaya

Saat ini, kata “Tasikmalaya” dipergunakan untuk dua nama hierarki pemerintahan daerah. Pertama, Kabupaten Tasikmalaya yaitu daerah otonom  yang dipimpin oleh seorang bupati dengan luas wilayah sekitar 2.508,91 km2. Sebelum bernama Tasikmalaya, kabupaten ini bernama Sukapura yang didirikan oleh Sultan Agung dari Mataram pada 9 Muharam Tahun Alif,  bersama-sama dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang (van der Chjis, 1880: 80-81). Kedua, Kota Tasikmalaya yakni daerah otonom yang dipimpin oleh seorang wali kota dengan luasnya sekitar 177,79 km2 yang dikukuhkan pada 17 Oktober 2001. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001, wilayah Kota Tasikmalaya meliputi tiga kecamatan bekas Kota Administratif Tasikmalaya, yaitu: Cihideung, Tawang, dan Cipedes; serta lima kecamatan yang diambil dari Kabupaten Tasikmalaya, yaitu: Indihiang, Mangkubumi, Kawalu, dan Cibeureum (Indonesia, 2001; Marlina, 2007: 98). Berdasarkan sensus tahun 2000, Kota Tasikmalaya berpenduduk sekitar 528.216 jiwa sehingga kepadatannya mencapai 2.971 jiwa/km. Kepadatan penduduk di pusat Kota Tasikmalaya (Cihideung, Tawang, dan Cipedes) mencapai lebih dari 7.800 jiwa/km (Santoso [ed.], 2004: 333).

Pemerintahan Kota Tasikmalaya memang masih begitu muda. Akan tetapi, keberadaan Kota Tasikmalaya sudah dikenal jauh sebelum pemerintahan kota tersebut dibentuk. Pada masa kolonial, Kota Tasikmalaya menunjukkan pertumbuhan yang dinamis seiring dengan perubahan fungsi kota dari sebuah kota distrik (district) menjadi kota keresidenan (residentie). Sementara itu, dilihat dari aspek wilayah administrasi pemerintahan, wilayah Kota Tasikmalaya tidaklah identik dengan Kabupaten Sukapura. Di lain pihak, opini umum menunjukkan bahwa Kota Tasikmalaya merupakan hasil dinamis dari perkembangan Kabupaten Sukapura.
Pertumbuhan Kota Tasikmalaya penting untuk diteliti karena sampai sekarang kota tersebut menjadi barometer di wilayah Priangan Timur (Santoso [ed.], 2004: 337). Dalam makalah ini, tidak semua aspek yang menjadi indikator pertumbuhan sebuah kota akan dikaji, tetapi dibatasi pada tiga permasalahan, yaitu: pertama, kapan nama Tasikmalaya mulai dipergunakan dalam administrasi pemerintahan kolonial?; kedua, apakah Distrik Tasikmalaya merupakan wujud perubahan dari Distrik Tawang?; ketiga, apakah pertumbuhan Kota Tasikmalaya terkait dengan perkembangan Kabupaten Sukapura?

B. Tasikmalaya: Tinjauan Etimologis

Ada dua keterangan yang menerangkan asal-usul nama Tasikmalaya dan kedua keterangan tersebut menunjukkan bahwa Tasikmalaya merupakan nama yang berasal dari dua kata. Pertama, Tasikmalaya merupakan nama yang berasal dari kata tasik jeung laya yang memiliki makna keusik ngalayah atau hamparan pasir sebagai akibat letusan Gunung Galunggung tahun 1822.  Kedua, Tasikmalaya merupakan gabungan dari kata tasik yang artinya telaga, laut, atau air yang menggenangi; dan malaya yang memiliki arti jajaran gunung-gunung. Toponimi ini mengandung makna bahwa keberadaan gunung yang mencapai jumlah ribuan laksana air laut (banyaknya) (Permadi, 1975: 3). Gunung-gunung tersebut ada yang terbentuk sebelum dan sesudah Gunung Galunggung meletus tahun 1822. Secara geologis, letusan tersebut mengakibatkan terciptanya jurang terjal yang membentuk formasi sepatu kuda ke arah timur Gunung Galunggung. Beberapa tahun setelah letusan dahsyat itu, bermunculanlah bukit-bukit kecil (hillocks) yang berjumlah sekitar 3.648 buah. Bukit-bukit kecil itulah yang kemudian memperkuat ciri khas geogafis daerah Kota Tasikmalaya (Furuya, 1978: 591-592; Zen, 1968: 62; ).
Berdasarkan uraian tersebut, ada yang berpendapat bahwa nama Tasikmalaya itu lahir dan mulai dipergunakan dalam administrasi pemerintahan setelah Gunung Galunggung meletus tahun 1822 (Ekadjati et al., 1975: 5; Marlina, 2007: 36). Sulit untuk menerima pendapat bahwa Tasikmalaya mulai dipergunakan setelah Gunung Galunggung meletus tahun 1822. Memang dalam laporan Residen Priangan tahun 1816, Tasikmalaya belum dipergunakan sebagai nama sebuah distrik, yakni wilayah pemerintahan yang berada di bawah kabupaten (de la Faille, 1895: 53). Akan tetapi, tahun 1820 nama Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun tersebut, nama Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan Hindia Belanda dengan nama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan wilayah sepanjang 37 pal (Statistiek van Java. 1820). Pada akhir tahun 1830-an, nama distrik tersebut menjadi Distrikt Tasjikmalaija yang mencakup sekitar 79 desa (Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten…1839). Penulis cenderung untuk berpendapat bahwa nama Tasikmalaya mulai dipergunakan antara tahun 1816-1820 atau pada masa awal Pemerintahan Komisaris Jenderal Hindia Belanda. Hal tersebut seiring dengan pendapat yang menyatakan bahwa nama Tasikmalaya mulai dipergunakan sebelum Gunung Galunggung meletus tahun 1822 dan penamaan tersebut semakin menguat setelah peristiwa alam itu terjadi (Roswandi, 2006: 232).

C. Distrik Cicariang menjadi Distrik Tasikmalaya

Kalau memang nama Tasikmalaya baru dipergunakan antara tahun 1816-1820, lantas wilayah yang sekarang bernama Kota Tasikmalaya itu sebelumnya bernama apa? Selain itu, apakah nama Distrik (Kota) Tasikmalaya merupakan penjelmaan dari nama wilayah tersebut?
Sebelum bernama Tasikmalaya, wilayah ini bernama Tawang, Galunggung, atau Tawang-Galunggung. Tawang diambil dari kata sawang, yakni tempat luas yang terbuka yang dalam bahasa Sunda dapat diartikan juga sebagai tempat palalangon yang bermakna memiliki makna sebagai tempat panyawangan anu plungplong ka ditu ka dieu (Ekadjati et al., 1975: 3; Musch, 1918: 202; Permadi, 1975: 3). Sekarang, Tawang merupakan salah satu nama kecamatan dan sebagian wilayahnya merupakan pusat Kota Tasikmalaya. Sementara itu, nama Galunggung jauh lebih dikenal daripada Tawang karena sebagai nama sebuah kabuyutan. Sampai awal abad ke-19, wilayah Galunggung yang meliputi daerah Kota Tasikmalaya sekarang, merupakan bagian dari Kabupaten Parakanmuncang (de la Faille, 1895: 123). Ketika kabupaten ini dibubarkan oleh Daendels tahun 1811, wilayah Galunggung dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kabupaten Sumedang.
Ketika sistem distrik diperkenalkan dalam birokrasi tradisional, maka daerah Tawang pun berubah status menjadi Distrik Tawang dan pada waktu pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura berkedudukan di Manonjaya (1839-1901), Distrik Tawang merupakan salah satu distrik di wilayah Kabupaten Sumedang (Marlina, 1972: 6; Sastrahadiprawira, 1953: 182). Oleh karena itu, penggunaan nama Tasikmalaya merupakan suatu upaya bagi pengubahan nama Tawang atau Tawang-Galunggung (Roswandi, 2006: 232). Betulkah seperti itu?
Dalam Verslag Omtrent de Residentie Preanger-Regentschappen en Krawang 1816, Raffles membagi wilayah ini berdasarkan sistem distrik yang  dipimpin oleh seorang wedana. Kabupaten Sumedang dibagi menjadi beberapa beberapa distrik, antara lain Ciawi, Pagerageung, Rajapolah, Indihiang, Cicariang, dan Singaparna. Sementara itu, di Kabupaten Sukapura tidak terdapat wilayah yang bernama Distrik Tawang atau Distrik Galunggung.
Distrik Cicariang merupakan wilayah pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi Distrik Tasikmalaya karena secara geografis, wilayah pemerintahan Distrik Cicariang hampir sama dengan wilayah pemerintahan Distrik Tasikmalaya. Hal tersebut diperkuat dengan data statistik yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun tersebut, dalam administrasi wilayah Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1820, Kabupaten Sumedang dibagi menjadi beberapa distrik, salah satunya bernama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan wilayah sepanjang 37 pal dan pusat pemerintahannya di Tasjikmalaija en Tjitjariang (Statistiek van Java. 1820). Kedudukan Tasikmalaya dan Cicariang sebagai hoofdplaats van het Distrikt Tassikmalaija op Cicariang tercatat dalam peta Distrik Tasikmalaya awal abad ke-19.
Pada akhir tahun 1830-an, nama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang menghilang. Dalam administrasi wilayah Pemerintahan Hindia Belanda yang ada adalah Distrikt Tasjikmalaija yang mencakup sekitar 79 desa (Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten…1839,). Pada pertengahan abad ke-19, Distrik Tasikmalaya dibagi menjadi tujuh onderdistrik, yaitu onderdistrikten Sambong, Siloeman, Tjibodas, Tjisangkir, Tjihideung, Pagaden, Mangkoeboemi, en Tjibeuti (Veth, 1869: 906.). Kedudukan Tasikmalaya sebagai pusat pemerintahan distrik dan ketujuh onderdistrik lainnya tercatat dalam dalam Algemeen Atlas van Nederlandsch Indië yang dibuat tahun 1857 (van Carbee en Versteeg, 1853-1862).
Fakta tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Distrik Tasikmalaya bukan merupakan perubahan nama dari Distrik Tawang, melainkan perubahan dari Distrik Cicariang. Perubahan tersebut tidak dilakukan secara langsung melainkan setahap demi setahap. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan nama distrik (Tjitjariang – Tassikmalaija op Tjitjariang – Tasikmalaja). Demikian juga dengan lokasi pusat pemerintahannya, pada awalnya tidak hanya berkedudukan di Tasikmalaya, melainkan juga di Cicariang.

D. Dari Kota Distrik menjadi Kota Kabupaten

Dalam tulisannya berjudul Sukapura (Tasikmalaya), Ietje Marlina (2000: 91-110) memandang Kota Tasikmalaya sebagai bagian dari pertumbuhan Kabupaten Sukapura. Pendapat ini kemudian menjadi opini umum seperti yang terlihat dari beberapa tulisan mengenai Kota Tasikmalaya (Adeng, 2005; Roswandi, 2006). Sejatinya, pembahasan mengenai Kota Tasikmalaya harus dibedakan dengan Kabupaten Tasikmalaya. Nama pemerintahan yang terakhir memang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Kabupaten Sukapura karena pada kenyataannya Kabupaten Tasikmalaya merupakan penjelmaan dari Kabupaten Sukapura. Uraian mengenai Kota Tasikmalaya harus dilihat sebagai bagian dari perkembangan Kabupaten Sumedang.
Ketika Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang mulai dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan, Kota Tasikmalaya berkedudukan sebagai pusat pemerintahannya bersama-sama dengan Tjitjariang. Kedudukannya tersebut tidak berubah sampai sistem distrik dihapus pada masa Pemerintahan Republik Indonesia. Pada 1862, Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem afdeeling dalam struktur pemerintahan kabupaten. Tujuannya adalah untuk mengurangi kekuasaan bupati karena pemerintahan sehari-hari di wilayah afdeeling dijalankan oleh hoofd van plaatselijke bestuur (setingkat asisten residen) yang didampingi oleh zelfstandige patih atau patih afdeeling (Indonesia, 1953: 157-158; Lubis, et al., 20031: 340). Sistem afdeeling diberlakukan terhadap kabupaten yang memiliki wilayah cukup luas. Salah satu kabupaten di Residentie Preanger-Regentschappen yang memiliki wilayah cukup luas adalah Kabupaten Sumedang sehingga berdasarkan sistem afdeeling tersebut, wilayahnya dipecah menjadi dua afdeeling. Pertama, Afdeeling Baloeboer op Noord Soemedang yang terdiri atas 6 distrik, 39 onder distrik, dan 209 desa. Kedua, Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang yang terdiri atas 5 distrik, 41 onder distrik, dan 254 desa. Afdeeling Baloeboer memiliki wilayah sepanjang 16,93 Geographische Mijlen atau 650 pal sedangkan Afdeeling Galoenggoeng memiliki panjang wilayah sekitar 15,85 Geographische Mijlen atau sekitar 383 pal  (Statistiek der Preanger Regentschappen. 1863). Pusat pemerintahan Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang terletak sekitar 7 pal dari kota Manonjaya, ibu kota Kabupaten Sukapura, dan sekitar 55 pal dari kota Sumedang, ibu kota Kabupaten Sumedang  (Veth, 18693: 906).
Perubahan struktur pemerintahan ini membawa dampak pada status Kota Tasikmalaya, karena sejak Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang dibentuk, Kota Tasikmalaya tidak hanya berkedudukan sebagai hoofdplaats der district melainkan juga sebagai hoofdplaats der afdeeling.  Dengan demikian, Kota Tasikmalaya tidak hanya menjadi tempat tinggal wedana, melainkan juga menjadi tempat tinggal asisten residen sebagai hoofd van plaatselijke bestuur dan zelfstandige patih. Kenyataan tersebut menarik untuk diteliti lebih mendalam karena jarak Kota Tasikmalaya ke Kota Sumedang relatif lebih jauh, tetapi berkedudukan sebagai kedudukan zelfstandige patih sebagai wakil Bupati Sumedang dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Kota Tasikmalaya justru lebih dekat ke Kota Manonjaya yang pada waktu berkedudukan sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura.
Pada tahun 1870 Preangerstelsel dihapus oleh Pemerintah Hindia Belanda, kecuali untuk penanaman kopi. Satu tahun kemudian, Pemerintah Hindia Belanda menata ulang wilayah administrasi Preanger Regentschappen atau yang dikenal dengan nama Preanger Reorganisatie. Dalam reorganisasi itu, Residentie der Preanger Regentschappen dibagi menjadi sembilan afdeeling yang dipimpin oleh seorang asisten residen. Sebagian afdeeling bersatu dengan kabupaten sehingga pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh bupati dan asisten residen; sebagian lagi berdiri sendiri sehingga pemerintahan dijalankan oleh patih afdeeling dan asisten residen (Lubis, 1998: 33; Natanagara, 1937: 114). Berdasarkan reorganisasi itu, nama Afdeeling Galoenggoeng Zuid op Soemedang diganti menjadi Afdeeling Tasjikmalaija dengan wilayah administrasi pemerintahannya tidak mengalami perubahan, termasuk pusat pemerintahannya masih berkedudukan di Kota Tasikmalaya.
Berdasarkan Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië tanggal 1 September 1901. No. 4, terhitung sejak 1 Desember 1901 Afdeeling Tasikmalaya dihapus dan wilayahnya dimasukkan ke tiga kabupaten. Distrik Ciawi, Indihiang, Tasikmalaya, dan Singaparna dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sukapura; Onderdistrik Malangbong Kulon dan Lewo (Distrik Malangbong) dimasukkan ke wilayah Kabupaten Limbangan; dan Onderdistrik Cilengkrang dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sumedang. Seiring dengan itu, pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura pun dipindahkan ke Kota Tasikmalaya yang telah dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1901, tetapi baru dikukuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Desember 1901 (Staatsblad van Nederlandsch-Indië voor het Jaar 1901. No. 327). Perintah pemindahan tersebut disebabkan oleh pertama, letak Kota Tasikmalaya yang strategis terutama jika dikaitkan dengan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda; dan kedua, Kota Tasikmalaya lebih berpotensi untuk dikembangkan dibandingkan dengan Kota Manonjaya (Marlina, 2007: 92).
Tahun 1913, Pemerintah Hindia Belanda mengubah nama Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya (Staatsblad van Nederlandsch-Indië voor het Jaar  1913. No. 356). Demikian juga dengan nama Afdeeling Sukapura diubah menjadi Afdeeling Tasikmalaya. Sejak saat itu, Tasikmalaya menjadi pusat pemerintahan beberapa hierarki pemerintahan daerah, antara lain Afdeeling Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Controle-Afdeeling Tasikmalaya, Distrik Tasikmalaya, dan Onderdistrik Tasikmalaya. Pada 1921, Distrik Tasikmalaya memiliki luas sekitar 178 km2 yang dibagi menjadi tiga onderdistrik, yaitu Tasikmalaya, Kawalu, dan Indihiang; serta dengan jumlah desa sekitar 46 buah (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 19214: 285; Regeeringsalmanak voor NI, 19191: 394).
Dalam kurun waktu 1926-1931, kedudukan Kota Tasikmalaya semakin penting karena menjadi pusat pemerintahan Afdeeling Oost-Priangan. Bentuk pemerintahan ini merupakan implementasi dari Bestuurshervormingwet tahun 1922 yang membagi Keresidenan Priangan menjadi tiga afdeeling, yaitu Afdeeling West-Priangan, Midden-Priangan, dan Oost-Priangan yang masing-masing dipimpin oleh seorang residen. Afdeeling Oost-Priangan meliputi Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis (Regeeringsalmanak voor NI, 19301: 327-336). Seiring dengan penghapusan Afdeeling Oost-Priangan tahun 1931, fungsi Kota Tasikmalaya kembali mengalami perubahan karena tidak lagi kedudukan residen.

E. Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Tasikmalaya telah dipergunakan sebagai nama suatu wilayah pemerintahan antara tahun 1816-1820. Sebelum kurun waktu itu, nama yang dikenal adalah Tawang, Galunggung, atau Tawang-Galunggung. Ketika Gunung Galunggung meletus tanggal 8 dan 12 Oktober 1822, nama Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan.
Kedua, penggunaan nama Tasikmalaya sebagai nama distrik bukan merupakan perubahan dari Distrik Tawang karena dari berbagai sumber arsip distrik tersebut tidak pernah tercatat. Pada masa Raffles (1816) di wilayah Priangan terdapat sebuah distrik bernama Cicariang. Oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda, nama tersebut diubah menjadi Distrikt Tassikmalaija op Tjitjariang. Pada akhir tahun 1930-an, nama distrik tersebut berubah lagi menjadi Distrikt Tassikmalaija. Setelah berubah, Cicariang menjadi sebuah onderdistrik dengan nama Cibeuti dengan pusat pemerintahannya di Cibeuti.
Ketiga, pertumbuhan Kota Tasikmalaya bukan sebagai bagian dari perkembangan Kabupaten Sukapura, melainkan sebagai bagian dari dinamika Kabupaten Sumedang. Baru pada tahun 1901, Kota Tasikmalaya merupakan bagian integral dari Kabupaten Sukapura yang kemudian namanya berubah menjadi kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu, pertumbuhan Kota Tasikmalaya dapat dilihat dari fungsi kota yang semula berkedudukan sebagai kota distrik yang berkembang sedemikian rupa sehingga berkedudukan sebagai kota kabupaten dan keresidenan.

DAFTAR SUMBER

Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie, Bewerkt Naar de Jongste en Beste Berigten. 1861. Eerste Deel (A-J).  Amsterdam: van Kamp.
Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten behalve de Gestelijkeheid in de Residentie Preanger Regentschappen met vermelding van derzelver inkomsten in 1839.
Brandes, J. 1888. “Drie Koperen Platen uit den Mataramschen Tijd”. TBG, XXXII.
de Graaf, H. J. 1990. Puncak Kekuasaan Mataram; Politik Ekspansi Sultan Agung. Terj. Pustaka Grafiti Utama dan KITLV. Jakarta: Pustaka Grafiti Utama.
de Haan, F. 1912. Priangan; de Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811. Deerde Deel. Batavia: G. Kolff & Co.
de la Faille, P. de Roo. 1895. Preanger-Schetsen. Batavia: G. Kolff & Co.
Dienaputra, Reiza D. 2004. Cianjur: Antara Bandung dan Buitenzorg. Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942. Bandung: Prolitera.
Ekdjati Edi S. et al. 1975. Hari Jadi Tasikmalaya. Cetakan Pertama. Tasikmalaya: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. 1921. Tweede Druk. Veerde Deel (Soemb – Z). s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Furuya, Takahiko. “Preliminary Report on Some Volcanic Disasters in Indonesia” dalam South East Asian Studies. Vol. 15. No. 4. Tahun 1978.
Hardjasaputra, A. Sobana. “Hari Jadi Kabupaten Bandung 16 Juli”. Galamedia, 20 Februari 2007.
————–. 1989. Bandung in the Earlier Nineteenth Century (ca. 1810-1850). Clayton, Vic. : Monash University.
Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.
————–. 2001. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya. Jakarta: Sekretariat Negara.
Indonesia. Kementrian Penerangan. 1953. Propinsi Djawa Barat. Djakarta: Dewaruci Press.
Kleine, Jacoub Wouter. 1931. Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking. Delft: Drukkerij J. Waltman Jr.
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1042). Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Lubis, Nina H. et al. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid I. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad.
Marlina, Ietje D. Dirapradja. 1972. Berdirinya Kabupaten Sukapura dan Perkembangannya. Skripsi Sarjana. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
————–. 2000. “Sukapura (Tasikmalaya)” dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Hlm. 91-110. Jatinangor: AlqaPrint.
————–. 2007. Perubahan Sosial di Tasikmalaya; Suatu Kajian Sosiologis Sejarah. Bandung: AlqaPrint.
Musch, C. C. 1918. Topographisen Dienst in Nederlandsch Indie over 1917. Dertiende Jaargang. Batavia.
Natanagara, Rd. Asik. 1937. “Sadjarah Soemedang ti Djaman Koempeni Toeg Nepi ka Kiwari” dalam Volksalmanak Soenda. Batavia: Kolff.
Permadi, Agus. “Prasasti Geger Hanjuang; Ngahanjuang-siangkeun Hari Jadi Tasikmalaya” dalam Mangle No. 495, September 1975.
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indië. 1919; 1925; 1930. Eerste Gedeelte: Grondgebied en Bevolking, Inrichting van het Bestuur van Nederlandsch-Indië en Bijlagen. Batavia: Landsdrukkerij.
Roswandi, Iwan. 2006. “Sejarah Kabupaten Tasikmalaya; Studi tentang Berdiri dan Berkembangnya Pemerintahan Tasikmalaya” dalam Iim Imanuddin dan Sindu Galba (eds.). Sejarah Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Banten: Garut-Subang-Bekasi-Tasikmalaya-Tangerang. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Santoso (ed.), F. Harianto 2004. Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jilid 4. Jakarta: Buku Kompas.
Sastrahadiprawira, R. Memed. 1953. “Manondjaja Dajeuh Narikolot” dalam R. I. Adiwidjaja. Pantjawarna. Djakarta: Balai Pustaka.
Staatsblad van Nederlandsch-Indië. Jaar 1859. No. 91; 1871. No. 122; 1901. No. 327. 1913. No. 356.
Statistiek der Preanger Regentschappen. 1863.
Statistiek der Residentie Preanger-Regentschappen. Jaar 1837.
Statistiek van Java. 1820.
van Carbee, P. Baron Melvill en W. F. Versteeg. 1853-1862. Algemeene Atlas van Nederlandsch Indie. Batavia: van Haren Noman & Kolff.
van der Chjis, J. A. 1880. Babad Tanah Pasundan. Terj. Raden Karta Winata. Batavia: Kantor Citak Gupernemen.
Veth, P. J. 1869. Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie, Bewerkt Naar de Jongste en Beste Berigten. Deerde Deel (R-Z). Amsterdam: van Kamp.
Widjajakusumah, R. D. Asikin. 1961. “Tina Babad Pasundan; Riwayat Kemerdekaan Bangsa Sunda Saruntangan Kerajaan Padjadjaran dina tahun 1580” dalam Kalawarta Kudjang. Bandung.
Zen, M. T. “Seribu Gunung di Priangan Timur” dalam Majalah Intisari. No. 6. Agustus 1968.

Sejarah Kota Banjar

Sejarah Pembentukan Kota Banjar tidak terlepas dari sejarah berdirinya Pemerintah Kabupaten Ciamis di masa lalu. Rangkaian waktu perjalanan berdirinya Pemerintah Kabupaten Ciamis sampai terbentuknya Pemerintah Kota Banjar melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
I. Banjar dalam sejarah perkembangannya
Banjar sejak didirikan sampai sekarang mengalami beberapa kali perubahan status, untuk lebih jelas perkembangannya sebagai berikut :
A. Banjar sebagai Ibukota Kecamatan, dari tahun 1937 sampai tahun 1940.
B. Banjar sebagai Ibukota Kewadanaan, dari tahun 1941 sampai dengan 1 Maret 1992
C. Banjar sebagai Kota Administratif dari tahun 1992 sampai dengan tanggal 20 Pebruari 2003.
D. Banjar sebagai Kota sejak tanggal 21 Pebruari 2003.
II. Terbentuknya Banjar Kota Administratif

Perkembangan dan kemajuan wilayah Provinsi Jawa Barat pada umumnya dan Kabupaten Ciamis khususnya wilayah Kecamatan Banjar, memerlukan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan secara khusus guna menjamin terpenuhinya tuntutan perkembangan dan kemajuan sesuai dengan aspirasi masyarakat di Wilayah Kecamatan Banjar.
Wilayah Kecamatan Banjar menunjukan perkembangan dan kemajuan dengan ciri dan sifat kehidupan perkotaan, atas hal tersebut wilayah Banjar perlu ditingkatkan menjadi Kota Administratif yang memerlukan pembinaan serta pengaturan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara khusus.
Akhirnya tahun 1992 Pemerintah membentuk Banjar Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1991 tentang Pembentukan Banjar Kota Administratif yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 2 Maret 1992.
Beberapa alasan mengapa Banjar menjadi Kota administratif antara lain :
Keadaan Geografis, Demografis dan sosiologis kehidupan masyarakat yang perkembangannya sangat pesat sehingga memerlukan peningkatan pelayanan dan pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
III. Terbentuknya Kota Banjar
Semakin pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar Banjar Kota Administratif segera ditingkatkan menjadi Pemerintah Kota dimana hal ini pun sejalan dengan tuntutan dan undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan di sisi lain Pemerintah Kabupaten Ciamis bersama-sama Pemerintah Provinsi Jawa Barat memperhatikan perkembangan tersebut dan mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Momentum peresmian Kota Banjar yang diikuti pelantikan Penjabat Walikota Banjar dapat dijadikan suatu landasan yang bersejarah dan tepat untuk dijadikan Hari jadi Kota Banjar.

Sejarah Kota Kuningan

Periode Setelah Masuknya Agama Islam
Masyarakat Kuningan menganut agama Hindu dan merupakan Daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang dikenal dengan nama Pajajaran, seluruh Jawa barat termasuk Cirebon pada tahun 1389 M masuk bagian dari Pajajaran dengan pelabuhannya saat itu meliputi Cirebon, Indramayu, Karawang, Sunda Kelapa dan Banten.
1. Waktu Cirebon dibawah pimpinan Ki Gedeng Jumajanjati anaknya Ki Gedeng Kasmaya, datanglah pelaut Cina yang dipimpin oleh Laksamana Te Ho ( Cheng Ho) dan sebagai rasa terimakasihnya atas sambutan rakyat Cirebon, maka dibuatlah Mercusuar di Pelabuhan Cirebon itu.
Setelah itu Pelabuhan Cirebon kedatangan seorang ulama Islam yang bernama Syekh Idhofi ( Syekh Datuk Kahfi ) yang dikenal dengan julukan Syeh Nuruljati. Ulama ini kemudian mendirikan pesantren dikaki bukit Sembung dan menetap di Pesambangan ( Desa Jatimerta). Salah satu murid ulama ini ada yang bernama Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan mendirikan sebuah kota bernama Caruban yang kemudian dikenal dengan nama Cirebon. Setelah ia berhaji mendapat julukan Haji Duliman yang akhirnya memimpin pemerintahan di Cirebon.
2. Saat itu di pelabuhan Karawang datang juga seorang ulama yang bernama Syekh Hasanuddin dari Campa dan dikenal dengan sebutan Syekh Quro karena mendirikan pesantren Quro. Dikemudian hari pesantren ini kedatangan Syekh Maulana Akbar yang meneruskan perjalanannya ke Pesambangan.
Dalam perjalanannya mengembangkan Islam, Syekh Maulana Akbar ini pernah singgah sebentar di daerah Buni Haji – Luragung , kemudian melanjutkannya sampai ke daerah Kuningan yang pada waktu itu dikenal dengan nama Kejene (artinya Kuning) , penduduknya menganut agama Hindu ( Agama Sanghiang), dengan pusat pemerintahannya di daerah Sidapurna yang artinya sempurna.
Syech Maulana Akbar akhirnya menetap disana dan mendirikan pesantren di Sidapurna serta menikah dengan seorang putri pejabat pemerintahan Kejene dan mempunyai seorang putra bernama Syekh Maulana Arifin atau syekh Arif. Karena pesatnya kemajuan pesantren ini sehingga tidak cukup menampung para pendatang, maka dibuatlah pemukiman baru dengan dasar Islam yang diberi nama Purwawinangun ( Artinya mula-mula dibangun ). Syekh Maulana Akbar ini meninggal dan dimakamkan di Astana Gede.
Syekh Arif ini meneruskan usaha yang telah dirintis oleh ayahnya dengan memajukan bidang peternakan, terutama peternakan kuda yang khas di Kejene ( kuda Kejene yang kemudian terkenal dengan sebutan Kuda Kuningan ), Syeh Maulana Arifin ini kemudian menikah dengan Ratu Salawati Putri dari seorang penguasa Kajene
2. Syarif Abdullah menikah dengan Rara Santang atau Syarifah Modarin putri Prabu Siliwangi dan mempunyai putra bernama Syarif Hidayatullah, Sesudah dewasa oleh ayahnya disuruh datang ke Daerah Surabaya -Jawa Timur untuk berguru kepada seorang ulama besar Islam yaitu Sayid Rahmat atau Sunan Ngampel yang memimpin daerah Ampeldenta. Kemudian Syarif Hidayatullah oleh Sunan Ngampel ditugaskan untuk menyebarkan Islam di Jawa barat dan dimulai dari Cirebon pada tahun 1470 M. Pada tahun 1479 M Haji Abdullah Imam berkenan menyerahkan kedudukan Kepala Pemerintahan Cirebon kepada Syarif Hidayatullah, setelah menikahi putrinya yang kemudian bergelar Susuhunan Jati atau dikenal dengan ” Sunan Gunung Jati ”.
3. Terdorong hasrat untuk menyebarkan Islam,pada tahun 1481 M Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (SGJ) datang ke Luragung . Waktu itu yang memimpin pemerintahan di Luragung adalah Ki Gedeng Luragung ,beliau masih saudara dengan Ki Gedeng Kasmaya dari Cirebon dan akhirnya Masuk Agama Islam.
Pada waktu itu juga datang Ong Tien putri dari Cina yang sedang mengandung menyusul ke Luragung kemudian melangsungkan pernikahan dengan SGJ. Ong Tien tersebut kemudian berganti nama menjadi Ratu Mas Rara Somanding.
SGJ bersama istrinya Ong Tien sepakat untuk memungut putra Ki Gedeng Luragung (yang masih bayi) sebagai putranya, Sebagai imbalannya Kigedeng Luragung diberikan ”Bokor Kuning” yang dikeluarkan dari kandungan Ong Tien oleh SGJ. Kemudian SGJ bersama Ongtien dan anak angkatnya yang diberi nama ”Sang Adipati” berangkat menuju Kejene yang pada waktu itu dipimpin oleh Pangeran Aria Kamuning dan masih menganut Hindu Budha.
Setelah Pangeran Aria Kamuning masuk Islam dan Ong Tien meninggal dunia pada tahun 1485 M Sang Adipati dipercayakan kepada Pangeran Aria Kamuning untuk dididiknya dengan baik. Selama Sang Adipati belum dewasa maka pangeran Aria Kamuning ditunjuk oleh SGJ sebagai Kepala Pemerintahan Perwakilan di Kejene dibawah Kerajaan Cirebon.
4. Setelah Sang Adipati berusia 17 tahun, tepatnya tanggal ” 1 September 1498 M , beliau dinobatkan sebagai Kepala Pemerintahan Kuningan dan diberi gelar Sang Adipati Kuningan. Dengan berdirinya Negera /Kerajaan Kuningan dibawah Sang Adipati, maka sejak tanggal penobatannya nama suatu daerah yang semula bernama Kejene kemudian diganti dan dikembalikan lagi kenama aslinya yaitu ” Kuningan”.
Beberapa waktu setelah penobatan Sang Adipati datang seorang tokoh untuk berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon yang berasal dari daerah bawahan Pajajaran yang bernama Dipati Ewangga yang disebut juga Dipati Cangkuang. Sesudah ilmunya cukup, ia ditugaskan oleh SGJ untuk turut membantu penyebaran Islam dan mengatur Pemerintahan Kuningan. Sang Adipati juga dibantu oleh Rama Jaksa yang terkenal ahli dalam membuat senjata. Petilasan Rama jaksa ditemukan di suatu tempat di Desa Winduherang.
Selain itu Sang Adipati juga mendapat bantuan dua orang juru dakwah yang dikirim SGJ yaitu Pangeran Purwajaya dan Pangeran Purwaganda yang datang ke Kuningan disertai dengan rombongan kesenian.
Dengan bantuan 4 tokoh tersebut dan Pangeran Aria Kamuning, Sang Adipati melakukan penyebaran Islam kesebelah timur, selatan , barat sampai ke Talaga dan Rajagaluh ( Benteng pertahananan terakhir) dari kerajaan Hindu sekitar Cirebon.
5. Untuk lebih meresapkan Agama Islam di kalangan penduduk Kuningan SGJ mengirim lagi Syekh Rama Haji Irengan, ia memilih tempat kediamannya di Darma dan dengan bantuan para wali ia membuat kolam yang sekarang dikenal dengan nama ”balong kancra” atau ”balong keramat” atau ”Darma loka”. Bila diperhatikan bentuk balong itu berliku-liku membentuk lafal Muhammad. Sesudah selesai membuat balong darma para wali sepakat untuk membuat kolam-kolam lainnya dibeberapa tempat yang memiliki sumber mata air seperti : Balong Cigugur, balong Cibulan dan balong Pasawahan. Tidak jauh dari kolam2 itu para wali mendirikan tempat-tempat pesantren untuk melakukan kegiatan pemantapan Agama Islam.
6. Ketika Portugis mau mendirikan benteng ditepi sungai Ciliwung untuk memperkuat pertahanan menghadapi kekuasaan Islam di jawa Barat. Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 M membuat persekutuan dengan Pajajaran untuk menggagalkan usaha Portugis tersebut. SGJ dan Demak setuju untuk menyerang dan menduduki Sunda Kelapa mendahului Portugis. Kemudian datang bala tentara Demak ke Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah( Faletehan) atau Fadhillah Khan . Balatentara yang dipimpin Patahillah itu diperkuat dengan pasukan tambahan dari Cirebon dan dari Kuningan yang dipimpin oleh Dipati Ewangga.
Semua pasukan bertolak dari pelabuhan Cirebon menggunakan kapal laut, mula-mula yang didudukinya adalah Banten terus Fatahillah mengerahkan tentaranya menuju Sunda Kelapa dan berhasil di dudukinya tahun 1527 M. Untuk mengabadikan kenangan itu maka nama Sunda Kelapa diganti menjadi ” Jayakarta”.
Tokoh-tokoh yang turut berjuang dengan Fatahillah banyak yang menetap di Jayakarta, diantaranya Dipati Ewangga bersama para pengikutnya dari Kuningan, yang kemudian membuat pemukiman di daerah itu yang pada akhirnya dikenal dengan nama ”Kampung Kuningan” atau daerah Kuningan – Jakarta.
7. Untuk meningkatkan kembali penyebaran Islam ke daerah pedalaman Jawa Barat pada tahun 1528 M SGJ Mengangkat Putranya yaitu Pangeran Pasarean sebagai pemangku kekuasaan Cirebon. Diantara daerah2 pedalaman yang telah di Islamkan itu adalah Talaga, Sindangkasih ( Daerah Majalengka), Cangkuang ( Garut), Galuh, Ukur, Cibalagung, Pagadingan ( Klungkung Bntar), Indramayu, Batulayang dan Timbanganten.
Dengan dinobatkannya Pangeran Pasarean, Kerajaan Rajagaluh dibawah Prabu Cakraningrat merasa hawatir dan perhatiannya mulai ditujukan ke Cirebon dengan tuntutan agar Cirebon mengakui kekuasaannya dan menghentikan penyebaran Agama islam. Semula Rajagaluh mengirimkan utusan dibawah pimpinan De Dipasara. Tetapi usaha itu dihalang-halangi oleh Sang Adipati Kuningan sehingga terpaksa kembali ke Rajagaluh. Pihak Rajagaluh siap-siap memperkuat pertahanannya di kaki Gunung Gundul, Gempol dan Palimanan yang dipimpin oleh Dipati Kiban. Untuk menghadapi ancaman lawan itu SGJ mendirikan pertahanan di Plered yang dipercayakan untuk dipimpin oleh Sang Adipati Kuningann. Sebelum melakukan serangan langsung Sang Adipati Kuningan berusaha mencari penyelesaian secara damai dan mengirim utusan dibawah pimpinan Demang Singgati untuk menghubungi Rajagaluh. Tetapi usaha itu gagal dan terjadilah pertempuran yang akhirnya Rajagaluh dapat ditundukan. Dalam pertempuran ini Sang Adipati mendapat bantuan dari Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, Ratu Mas Gandasari dan Pangeran Karangkendal.
8. Sang Adipati menikah dengan putri Syekh Maulana Arifin dan mempunyai seorang putra bernama ”Geusan Ulun” yang pada tahun 1570 M dinobatkan menjadi Kepala Pemerintahan Kuningan menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1568 M. Setelah dinobatkan beliau bergelar Pangeran Geusan Ulun atau Prabu Geusan Ulun. Beliau mempunyai banyak istri yang berasal dari putri tokoh-tokoh penting yang berpengaruh di daerahnya dan mempunyai anak sebanyak 40 orang.
Pada masa pemerintahan Geusan Ulun, di pulau Jawa ini mulai tumbuh pusat-pusat Kekuasaan baru seperti di Jawa tengah tumbuh kerajaan Mataram yang berhasrat untuk mengembangkan pengaruhnya ke daerah Priangan termasuk Cirebon dan Kuningan, sedangkan disebelah barat, Jayakarta telah jatuh ketangan kekuasaan asing VOC ( Belanda ) dan disana mendirikan kekuasaan yaitu Batavia.
Setelah Geusan Ulun Meninggal tahun 1650 M dan dimakamkan di Astana Gede Kuningan, maka timbul pembagian kekuasaan diantara saudara-saudaranya yang lain di pusat kota Kuningan dipegang oleh Dalem Mangkubumi sedangkan yang lainnya sebanyak 28 orang menempati tempat-tempat kedudukan seperti dapat diketahui dari nama julukannya atau tempat pemakamannya yaitu Dalem :
Mangkubumi dimakamkan di Purwawinangun, Citangtu ,Panyilih, Pasawahan, Koncang, Trijaya, Kasturi, Dago Jaya, Winduherang, Salahonje, Nayapati, Karawang. Amonggati, Cihideung, Cengal,Keko, Paduraksa, Cigugur, Tembong, Cikondang, Cibinuang, Maruyung, Balostrong, Tarka,Haur Kuning, Wirajaya, Mangku, Cigadung dan dalem Cageur.
Adapun Anak Geusan Ulun yang tidak memegang pemerintahan adalah Nyai Panembahan Girilaya, Nyai Kuwu Cirebon Girang, Adipati Ukur, Nyai Gedeng Pamuragan, Nyai Aria Salingsingan, Nyai Musti, Nyai Dalem Sumedang, Dipati Barangbang, Dewi Ratna Campaka, Nyai Gedeng Anggadiraksa dan Nyai Gedeng Jati.
Sesudah Kuningan dibagi dengan 29 Kabupaten yang masing-masing dipimpin oleh seorang Dalem dari keturunan Geusan Ulun. Daerah Kuningan itu kemudian masuk wilayah kekuasaan Mataram, selanjutnya dengan jatuhnya Cirebon dibawah kekuasaan VOC sejak tahun 1682 M, malapetaka sebagai akibat sistem monopoli VOC juga menimpa rakyat Kuningan.
9. Memasuki abad 19 setelah pembubaran VOC, nasib rakyat tidak menjadi lebih baik dibawah kekuasaan Gupernemen Hindia Belanda. Pada tanggal 2 Pebruari 1809 M , Daendeles mengeluarkan peraturan mengenai pengurusan tanah-tanah Cirebon dan para Sultan menjadi pegawai Belanda dengan pangkat /jabatan Bupati dan Wedana. Didaerah Kuningan ada beberapa orang Tumenggung yang dibawahi oleh Sultan Kasepuhan antara lain Kuningan dan Cikaso. Kekuasaan para sultan dihapuskan oleh Raffles dan diangkat Bupati-bupati dari pegawai biasa dalam pemerintahan. Pada tanggal 15 Januari 1819 M, dikeluarkan keputusan Komisaris Jendral No. 23 untuk membentuk Kabupaten Kuningan, tetapi wilayah administrasinya baru meliputi bagian selatan wewengkon Kabupaten Kuningan yang sekarang.
10. Pada abad 20 mulai didirikan sekolah untuk rakyat biasa di Kuningan. Pengaruh kebangkitan nasional lambat laun masuk dan meluas serta menggerakan Rakyat dalam organisasi pergerakan politik dan sosial.
Keruntuhan Hindia Belanda oleh Jepang membuka penderitaan rakyat yang tidak kurang kejamnya dari pada masa sebelumnya, tetapi orang Kuningan dalam keluarga besar bangsa Indonesia dibuat lebih siap untuk menyongsong kemerdekaan. Dalam perjuangan bangsa Indonesia membela proklamasi dan mempertahan NKRI ternyata para pejuang Kuningan dengan dukungan segala lapisan masyarakat mempunyai saham cukup besar. Katakanlah Linggarjati membuat lembaran sejarah nasional, kemudian Ciwaru melakukan peranan penting dibidang perjuangan Pemerintahan sipil dengan dijadikannya Pusat Pemerintahan Karesidenan Cirebon dalam menghadapi agresi I dalam perang kolonial Belanda. Dibidang militer, Sagarahiang selama Agresi I dan II menjadi pusat koordinasi perjuangan dalam perang gerilya.
Dalam Masa RIS rakyat Kuningan memelopori Likwiditas Negara Pasundan untuk mengembalikan Jawa Barat dalam pangkuan RI. Sesudah lewat masa revolusi fisik dan memasuki tahun lima puluhan, masalah politik,ekonomi dan sosial, termasuk kedalamnya situasi keamanan oleh gangguan DI/TII serta kemudian aksi-aksi sepihak yang dihasut oleh agitasi PKI sampai terjadinya kudeta terkenal G30 S/PKI membuat pembangunan terbengkalai. Baru setelah tahun 1966 M sampai dengan sekarang pembangunan baru dapat dilaksanakan dengan lebih baik, tertata dan berkesinambungan, ini semua tentu dalam rangka mengisi arti kemerdekaan dan mensejahterakan masyarakat.

Sejarah Kota Ciamis

Menurut sejarawan W.J Van der Meulen, Pusat Asli Daerah (kerajaan) Galuh, yaitu disekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang). Selanjutnya W.J Van der Meulen berpendapat bahwa kata "galuh", berasal dari kata "sakaloh" berarti "dari sungai asalnya", dan dalam lidah Banyumas menjadi "segaluh". Dalam Bahasa Sansekerta, kata "galu" menunjukkan sejenis permata, dan juga biasa dipergunakan untuk menyebut puteri raja (yang sedang memerintah) dan belum menikah.

Sebagaimana riwayat kota-kabupaten lain di Jawa Barat, sumber-sumber yang menceritakan asal-usul suatu daerah pada umumnya tergolong historiografi tradisional yang mengandung unsur-unsur mitos, dongeng atau legenda disamping unsur yang bersifat historis. Naskah-naskah ini antara lain Carios Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa, Wawacan Sajarah Galuh, dan juga naskah Sejarah Galuh bareng Galunggung, Ciung Wanara, Carita Waruga Guru, Sajarah Bogor. Naskah-naskah ini umumnya ditulis pada abad ke-18 hingga abad ke-19. Adapula naskah-naskah yang sezaman atau lebih mendekati zaman Kerajaan Galuh. Naskah-naskah tersebut, diantaranya Sanghyang Siksakanda ‘Ng Karesian, ditulis tahun 1518, ketika Kerajaan Sunda masih ada dan Carita Parahyangan, ditulis tahun 1580.


Berdirinya Galuh sebagai kerajaan, menurut naskah-naskah kelompok pertama tidak terlepas dari tokoh Ratu Galuh sebagai Ratu Pertama. Dalam laporan yang ditulis Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat berbagai nama kerajaan sebagai berikut: Kerajaan Galuh Sindula (menurut sumber lain, Kerajaan Bojong Galuh) yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili (tahun 78 Masehi?); Kerajaan Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan; Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan; Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan; Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman; Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan; Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo; Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan; Galuh Pakuan beribukota di Kawali; Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan; Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah beribukota Pataka; Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam beribukota Bojonglopang kemudian Gunungtanjung; Kabupaten Galuh Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribukota di Imbanagara dan Kabupaten Galuh berlokasi di Cibatu beribukota di Ciamis (sejak tahun 1812).

Untuk penelitian secara historis, kapan Kerajaan Galuh didirikan, dapat dilacak dari sumber-sumber sezaman berupa prasasti. Ada prasasti yang memuat nama "Galuh", meskipun nama tanpa disertai penjelasan tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, Raja Balitung disebut sebagai "Rakai Galuh". Dalam Prasasti Siman berangka tahun 943, disebutkan bahwa "kadatwan rahyangta I mdang I bhumi mataram ingwatu galuh". Kemudian dalam sebuah Piagam Calcutta disebutkan bahwa para musuh penyerang Airlangga lari ke Galuh dan Barat, mereka dimusnahkan pada tahun 1031 Masehi. Dalam beberapa prasasti di Jawa Timur dan dalam Kitab Pararaton (diperkirakan ditulis pada abad ke-15), disebutkan sebuah tempat bernama "Hujung Galuh" yang terletak di tepi sungai Brantas. Nama Galuh sebagai ibukota disebut berkali-kali dalam naskah sebuah prasasti berangka tahun 732, ditemukan di halaman Percandian Gunung Wukir di Dukuh Canggal (dekat Muntilan sekarang).

Pada bagian carita Parahyangan, disebutkan bahwa Prabu Maharaja berkedudukan di Kawali. Setelah menjadi raja selama tujuh tahun, pergi ke Jawa terjadilah perang di Majapahit. Dari sumber lain diketahui bahwa Prabu Hayam Wuruk, yang baru naik tahta pada tahun 1350, meminta Puteri Prabu Maharaja untuk menjadi isterinya. Hanya saja, konon, Patih Gajah Mada menghendaki Puteri itu menjadi upeti. Raja Sunda tidak menerima sikap arogan Majapahit ini dan memilih berperang hingga gugur dalam peperangan di Bubat. Puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana waktu itu masih kecil. Oleh karena itu kerajaan dipegang Hyang Bunisora beberapa waktu sebelum akhirnya diserahkan kepada Niskala Wastu Kancana ketika sudah dewasa. Keterangan mengenai Niskala Wastu Kancana, dapat diperjelas dengan bukti berupa Prasasti Kawali dan Prasasti Batutulis serta Kebantenan.

Pada tahun 1595, Galuh jatuh ke tangan Senapati dari Mataram. Invasi Mataram ke Galuh semakin diperkuat pada masa Sultan Agung. Penguasa Galuh, Adipati Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dan cacah sebanyak 960 orang. Ketika Mataram merencanakan serangan terhadap VOC di Batavia pada tahun 1628, massa Mataram di Priangan bersilang pendapat. Rangga Gempol I dari Sumedang misalnya, menginginkan pertahanan diperkuat dahulu, sedangkan Dipati Ukur dari Tatar Ukur, menginginkan serangan segera dilakukan. Pertentangan terjadi juga di Galuh antara Adipati Panaekan dengan adik iparnya Dipati Kertabumi, Bupati di Bojonglopang, anak Prabu Dimuntur keturunan Geusan Ulun dari Sumedang. Dalam perselisihan tersebut Adipati Panaekan terbunuh tahun 1625. Ia kemudian diganti puteranya Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di Garatengah (Cineam sekarang).

Pada masa Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan dari Garatengah (Cineam) ke Calingcing. Tetapi tidak lama kemudian dipindahkan ke Bendanagara (Panyingkiran). Pada Tahun 1693, Bupati Sutadinata diangkat VOC sebagai Bupati Galuh menggantikan Angganaya. Pada tahun 1706, ia digantikan pula oleh Kusumadinata I (1706-1727).

Pada pertengahan abad ke-19, yaitu pada masa pemerintahan R.A.A. Kusumadiningrat menjadi Bupati Galuh, pemerintah kolonial sedang giat-giatnya melaksanakan tanam paksa. Rakyat yang ada di Wilayah Galuh, disamping dipaksa menanam kopi juga menanam nila. Untuk meringankan beban yang harus ditanggung rakyat, R.A.A. Kusumadiningrat yang dikenal sebagai "Kangjeng Perbu" oleh rakyatnya, membangun saluran air dan dam-dam untuk mengairi daerah pesawahan. Sejak Tahun 1853, Kangjeng Perbu tinggal di kediaman yang dinamai Keraton Selagangga.
Antara tahun 1859-1877, dilakukan pembangunan gedung di ibu kota kabupaten. Disamping itu perhatiannya terhadap pendidikan pun sangat besar pula. Kangjeng Perbu memerintah hingga tahun 1886, dan jabatannya diwariskan kepada puteranya yaitu Raden Adipati Aria Kusumasubrata.
Pada tahun 1915, Kabupaten Galuh dimasukkan ke Keresidenan Priangan, dan secara resmi namanya diganti menjadi Kabupaten Ciamis.


Sumber: Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, tahun 2000.

Sejarah Kota Cirebon III



Keraton Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800, Keraton ini banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang perlengkapan Perang, Gamelan dan lain-lain.
Seperti halnya Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman, Keraton Kecirebonan pun tetap menjaga, melestarikan serta melaksanakan kebiasaan dan upacara adat seperti Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.
SILSILAH SULTAN KERATON KACERIBONAN
1. Pangeran Pasarean
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu Pangeran di Pati Anom Carbon
4. Pangeran di Pati Anom Carbon

5. Panembahan Girilaya

6. Sultan Moh Badridini Kanoman
7. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom Alimudin
9. Sultan Anom Moh Kaerudin
10. Sultan Carbon Kaeribonan
11. Pangeran Raja Madenda
12. Pangeran Raja Denda Wijaya
13. Pangeran Raharja Madenda
14. Pangeran Raja Madenda
15. Pangeran Sidek Arjaningrat
16. Pangeran Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga

Gua Sunyaragi Cirebon.

Lebih kurang 5 Km ke arah barat dari jantung kota Cirebon, tepatnya dikelurahan Graksan, terhampar bangunan yang unik. Areal bangunan ini dikenal sebagai Tamansari Gua Sunyaragi. Petilasan dengan arsitektur estetik bernilai historis, serta mengungkap nilai-nilai spritual yang merupakan salah satu warisan budaya masa lalu yang terdapat di wilayah Cirebon, Pembangunannya dilakukan pada tahun 1703, sedangkan gagasannya berasal dari benak Sang Patih Keraton Kasepuhan yang bernama Pangeran Arya Cirebon. Tokoh ini dikenal sebagai peminta sejarah dan kebudayaan. Karya legendaris lainnya yaitu kitab sejarah “Purwaka Caruban” yang berhasil disusunnya pada tahun 1720. Sunya berarti sepi, dan Raga atau Ragi berarti jasmani.
gua-sunyaragi-300x207
Taman Gua Sunyaragi ini sebenarnya merupakan komplek bangunan kuno yang apabila dibagi-bagi akan terdapat 12 bangunan inti terdiri dari satu bangunan tambahan yaitu :
1. Gua Pengawal
2. Gua Pande Kemasan
3. Gua Simayang
4. Bangsal Jinem
5. Gua Pawon
6. Mande Beling
7. Gua Lawa
8. Gua Padang Ati
9. Gua Kelanggengan
10. Gua Peteng
11. Bale Kambang
12. Gua Arga Jumut

Taman Wisata Sakral di Kota Cirebon.

Tempat Penyebaran Agama Islam dan Gua Pertapaan
Kereta Kencana Singa Barong milik Sunan Gunung Jati. Kereta hias, dulunya dipakai sebagai kendaraan Sunan. Ornamen Kereta Kencana penuh dengan perpaduan budaya, Jawa Kuno, Tiongkok, India, dan Mesir. Kereta Kencana Singa Barong ini juga menjadi simbol persahabatan.
Dulu, sebuah istana megah bernama Keraton Kasepuhan, kediaman Raja Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarief Hidayat berdiri kokoh di atas tanah seluas 185.500 meter persegi. Keraton Kasepuhan yang terletak di Cirebon, Jawa Barat ini pernah menjadi tempat sakral bagi masyarakat sekitar. Dari keraton inilah penyebaran agama Islam bermula.
Kini, istana megah itu tak ubahnya seperti rerun- tuhan bebatuan. Sebagian besar ruangan di Keraton Kasepuhan tidak berbentuk lagi. Hanya tumpukan batu bata merah dan bebatuan yang ada di keraton ini. Kabarnya, untuk merenovasi Keraton Kasepuhan dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 juta per bulan.
Sayangnya, biaya renovasi tidak mampu diberikan Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon. Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Informasi Pariwisata, Yatna Supriyatna menuturkan, dana cagar budaya untuk Kota Cirebon hanya Rp 70 juta per bulan. Dana digunakan untuk semua tempat bersejarah di Cirebon. Jadi, tidak mungkin bila Rp 50 juta diberikan khusus untuk renovasi Keraton Kasepuhan saja.
“Keraton Kasepuhan memang tempat bersejarah utama di Kota Cirebon. Namun, kami belum mampu melakukan renovasi total. Dananya belum cukup,” ujar Yatna saat ditemui di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, pada 14 Oktober lalu.
Keraton Kasepuhan, adalah sebuah tempat bersejarah di Kota Cirebon. Dari Jakarta, kota kecil ini hanya berjarak tiga jam perjalanan dengan kereta api. Sementara itu, bila menggunakan mobil dari Jakarta-Cirebon sekitar empat-lima jam. Cirebon juga kaya ragam budaya, karena menjadi persimpangan lalu lintas niaga. Letak Cirebon persis berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sedangkan untuk sampai ke Keraton Kasepuhan, dari terminal Harjamukti membutuhkan waktu 20 menit menggunakan becak. Pilihan lainnya, bisa menggunakan becak dari stasiun Kejaksaan ke arah selatan selama 30 menit saja.
Masuk ke wilayah Keraton Kasepuhan, para wisatawan lokal dan mancanegara harus membayar uang masuk Rp 3.000 per orang. Keraton dibuka untuk umum mulai pukul 08.00-16.00 WIB. Setiap wisatawan mendapat seorang pemandu, yang sehari-hari bertugas sebagai abdi dalem keraton.
Keraton yang dikenal paling tua di Cirebon ini, awalnya bukan bernama Keraton Kasepuhan. Asal usul nama Keraton Kasepuhan terbilang panjang. Bangunan yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, dibangun oleh Pangeran Cakrabuwana, yakni putra mahkota Pajajaran. Keraton berdiri pada abad ke-15 atau tahun 1430. Keraton kemudian diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu Pakungwati. Mulanya, keraton diberi nama Keraton Pakungwati atau Dalem Agung Pakungwati.
Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya, Sunan Gunung Jati. Kehadiran Sunan Gunung Jati ternyata membawa sejarah baru di Jawa Barat. Nama Keraton Pakungwati berganti menjadi Keraton Kasepuhan. Pergantian nama dikarenakan sebutan Pakungwati dimuliakan. Sedangkan, nama Keraton Kasepuhan artinya tempat sepuh atau paling tua di Cirebon.
Kondisi Keraton Kasepuhan sekarang, memang sesuai dengan namanya. Bangunan tua itu tampak rapuh. Saat masuk ke pelataran Keraton Kasepuhan, jangan berharap bisa melihat kemewahan atau kemegahan sebuah istana. Kediaman para raja dan putri ini tak ubahnya seperti bangunan tua bersejarah, yang hanya menyimpan kenangan saja.
Memasuki pelataran keraton, terdapat podium bernama Siti Inggil yang berarti tanah tinggi. Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah berupa Candi Bentar. Bentuk dari Siti Inggil memiliki makna spritual. Semisal, terdapat 20 tiang dalam Siti Inggil yang melambangkan 20 sifat Tuhan.
Dulu, Siti Inggil dipakai oleh Sunan Gunung Jati untuk melihat pertandingan. Dalam bangunan tersebut, Sunan juga kerap menggelar sidang bagi warga yang melanggar aturan. Sidang bisa langsung dilihat oleh seluruh warga Cirebon.
Keraton Kasepuhan memiliki banyak bagian, di antaranya Jinem Pangrawit tempat Sunan bertemu dengan tamu kehormatannya. Jinem Pangrawit terbagi dua bagian, yakni ruang tamu untuk para menteri dan bupati. Ruang tamu di desain unik. Corak budaya Jawa tidak tampak di ruangan tersebut. Jinem Pangrawit dipenuhi dengan hamparan keramik dan porselin dari Portugis, Tiongkok, dan Belanda.
Sunan Syekh Syarief, konon sangat mencintai perpaduan budaya Tiongkok, Portugis, India, dan Jawa. Jadi, semua barang-barang dan peralatan di Keraton Kasepuhan banyak bersentuhan dengan tiga negara tersebut. Keramik Tiongkok yang ada di Keraton, adalah hadiah dari kaisar Tiongkok kepada Sunan. Hadiah diterima saat Sunan menikah dengan putri kaisar bernama Tan Hong Tien Nio.
Keramik dan porselin dari Tiongkok ada sejak abad ke-15, sementara keramik dari Belanda baru ada pada abad ke-17. Kecintaan Sunan terhadap keramik dan porselin memang sangat besar. Terbukti, dinding dan lantai di ruang Jinem Pangrawit dipenuhi dengan keramik.
Sebuah ruang tamu di Keraton Kasepuhan bernama Jinem Pangrawit. Ruang tamu dipakai untuk menerima tamu kehormatan, yakni bupati dan para Menteri.
Pemisahan
Pada masa pemerintahan Sunan Syeh Syarief, juga diterapkan aturan yang tegas mengenai lelaki dan perempuan. Keraton atau tempat kediaman untuk perempuan tidak boleh bercampur dengan lelaki. Bahkan, di dalam area keraton terdapat satu tempat khusus yang tidak boleh dikunjungi kaum perempuan, termasuk istri Sunan sekalipun.
Tempat khusus dan sakral itu bernama Patilasan Pangeran Cakrabuwana Sunan Gunung Jati. Pada pintu masuk patilasan, jelas tertulis Wanita tidak boleh masuk. Dalam tempat ini, Syekh Syarief dan putra mahkota menyebarkan ajaran agama Islam kepada semua lelaki yang tinggal di keraton.
Konon, Patilasan Pangeran Cakrabuwana ini memang tidak boleh tersentuh oleh kaki perempuan. Apabila ada perempuan yang berani masuk, maka ia keluar membawa petaka. Bisa-bisa, perempuan tersebut gila atau hilang kesadaran.
“Dulu sempat seorang pengunjung wanita masuk ke dalam keraton Patilasan Cakrabuwana. Tidak lama, wanita itu hilang kesadaran. Jadi, sampai sekarang kami melarang pengunjung wanita masuk ke tempat sakral tersebut,” ujar abdi dalam keraton Ferry Jamaladdin.
Di bagian kanan Patilasan Cakrabuwana terdapat Patilasan Keraton Dalem Agung Pakungwati. Tempat tersebut dibangun khusus bagi permaisuri, dayang-dayang, dan kaum perempuan. Dulunya, keraton Pakungwati ini sangat asri dan indah. Konon para putri Sunan dan permaisuri memiliki ruang pemandian yang besar. Permaisuri dan putri bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berendam dan mempercantik diri.
Sayangnya, keraton Pakungwati kini tak ubahnya seperti ruang kosong yang penuh dengan reruntuhan bebatuan. Tidak ada tanda-tanda pemeliharaan dari pemerintah daerah atas tempat bersejarah ini. Kamar sang permaisuri dan tempat pemandian pun tinggal puing-puing.
Bila dilihat dari kondisi keraton Kasepuhan, memang tidak jelas terbaca makna atau nilai sejarahnya. Namun, saat melihat ke dalam tempat penyimpanan benda-benda bersejarah barulah terasa. Ternyata, Sunan gemar mengoleksi benda berharga. Di area keraton, terdapat dua museum, yakni Museum Benda Kuno dan Museum Kereta Kencana Singa Barong.
Museum Benda Kuno, diisi oleh barang-barang pemberian dari kerabat Sunan. Keris berbagai jenis dan alat debus dari Banten, masih tersimpan di museum ini. Alat musik gamelan yang dulu dipakai oleh para penghibur Sunan juga masih tertata rapi.
Berbeda dengan Museum Benda Kuno, Museum Kereta Kencana Singa Barong diisi dengan benda-benda milik keluarga Sunan. Kereta Kencana Singa Barong menjadi peninggalan paling berharga di keraton tersebut. Kereta yang dibuat tahun 1549, oleh cucu Sunan, yakni Pangeran Mas Mohammad Arifin. Konon kereta tersebut dipakai saat kunjungan resmi.
Ornamen hias pada kereta sangat unik. Terdapat tiga perpaduan budaya pada kereta, yaitu Tiongkok, India, dan Mesir. Ornamen perpaduan budaya dapat dilihat dari belalai gajah yang melambangkan negara India, kepala naga artinya persahabatan dengan Tiongkok, dan badan Buroq yang berarti bersahabat dengan mesir.
Kereta Kencana Singa Barong, kini hanya boleh dinikmati lewat pandangan mata saja. Kereta hias resmi pensiun sejak tahun 1942. Kereta ini hanya boleh dikeluarkan setiap 1 Syawal, untuk dimandikan.
Masih berkaitan dengan Keraton Kasepuhan, terdapat sebuah taman air nan indah yang terletak di Barat Daya Keraton. Taman air tersebut bernama Taman Gua Sunyaragi. Taman, berdasarkan manuskrip Purwaka Caruban Nagari, didirikan oleh Pangeran Kararangan bergelar Arya Caruban, pada 1703. Konon pembangunan gua diteruskan oleh putra-putra Pangeran Arya, yakni Pangeran Carbon Martawijaya dan Pangeran Carbon Adiwijaya.
Taman Gua Sunyaragi tak ubahnya seperti gua-gua besar dipenuhi dengan lorong-lorong sempit. Lorong-lorong, dulunya dipakai sebagai tempat bertapa atau sekadar mencari ketenangan jiwa. Ditambah lagi, suasana di taman memang sepi karena jauh dari rumah masyarakat.
Taman Sunyaragi juga menjadi sumber pengairan utama atau irigasi ke Keraton Kasepuhan. Bahkan, dalam taman Sunyaragi terdapat sebuah lorong bawah tanah menuju keraton. Dilihat dari gaya, corak, dan motif-motif ragam rias dari pola-pola bangunan, bisa disimpulkan gaya arsitektur gua Sunyaragi merupakan perpaduan gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam, dan gaya Eropa.
Sayangnya, keindahan Taman Gua Sunyaragi mulai pudar sejak pengelolaan diserahkan kepada pemerintah.

Blogger news